Bali

Suku Bali di Balik Semua Westernisasi Bali


Sejarah Singkat

Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta berarti "Kekuatan", dan "Bali" berarti "Pengorbanan" yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Supaya kita selalu siap untuk berkorban. Bali mempunyai 2 pahlawan nasional yang sangat berperan dalam mempertahankan daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik.
Suku Bali adalah sukubangsa yang mendiami pulau Bali, menggunakan bahasa Bali dan mengikuti budaya Bali. Sebagian besar suku Bali beragama Hindu, kurang lebih 90%. Sedangkan sisanya beragama Buddha, Islam dan Kristen.

Budaya Masyarakat Suku Bali

Perkawinan Adat Bali

Tahapan untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut dengan Catur Asrama. Pada tahap Brahmacari asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Dharma. Grhasta Asrama memprioritaskan mewujudkan artha dan kama. Sedangkan pada Wanaprasta Asrama dan Sanyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mencapai moksa.
Perkawinan atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut “Yatha sakti Kayika Dharma” yang artinya dengan kemampuan sendiri lelaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.
Dalam perkawinan ada dua tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma.
Pada tahap persiapan, seseorang yang akan memasuki jenjang perkawinan amat membutuhkan bimbingan, khususnya agar dapat melakukannya dengan sukses atau memperkecil rintangan-rintangan yang mungkin timbul. Bimbingan tersebut akan amat baik kalau diberikan oleh seorang yang ahli dalam bidang agama Hindu, terutama mengenai tugas dan kewajiban seorang grhastha, untuk bisa mandiri di dalam mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama berdasarkan Dharma.
Membaca Pesan Alam

Soal arsitektur misalnya, hunian masyarakat Bali di pegunungan Kintamani tentu tidak akan sama dengan perumahan masyarakat Bali di daerah dataran Gianyar maupun di daerah pesisir Kuta kendati iklim dan cuaca tidak jauh berbeda. Sirap bambu lebih diminati sebagai bahan atap di daerah pegunungan Kintamani karena, selain perlindungan pada udara dingin, sebagian pegunungan Kintamani ditumbuhi oleh tanaman bambu. Sedangkan daerah dataran dan pesisir lebih memilih alang-alang sebagai penutup atap karena bahan itulah yang disediakan oleh alam sekitarnya.




Tak hanya soal bangunan saja budaya manusia Bali amat beragam. Di pulau kecil ini, perilaku manusianya memiliki ciri tersendiri dalam melakoni kesehariannya mereka. Tatacara bicara, bahasa, dialek dan sikap berkomunikasi amat jelas menunjukkan asal wilayahnya. Dalam perilaku melaksanakan agama dan berkesenian pun tampak warna-warna lokal yang amat menonjol dari masing-masing wilayah di Bali.
Desa Kala Patra, tempat waktu dan keadaan, tiga unsur inilah yang akhirnya terlihat sebagai unsur pembentuk beragamnya perilaku manusia Bali dalam menjalani kesehariannya. Walaupun kemasan budaya manusia Bali tampak memiliki ciri khas masing-masing wilayah namun tujuannya terpusat ke satu arah, yaitu persembahan. Dalam bait sastra pun mereka menemukan pembenaran atas perbedaan yang memiliki satu tujuan.


Arja 

Arja adalah semacam opera khas Bali, merupakan sebuah dramatari yang dialognya ditembangkan secara macapat. Dramatari Arja ini adalah salah satu kesenian yang sangat digemari di kalangan masyarakat. Nama Arja diduga berasal dari kata Reja (bahasa Sansekerta) yang berarti “keindahan”. Gamelan yang biasa dipakai mengiringi Arja disebut “Gaguntangan” yang bersuara lirih dan merdu sehingga dapat menambah keindahan tembang yang dilantunkan oleh para penari.
Arja diperkirakan muncul pada tahun 1820-an, pada masa pemerintahan Raja Klungkung, I Dewa Agung Sakti. Menjelang berakhirnya abad 20 lahirlah Arja Muani, dimana semua pemainnya pria, sebagian memerankan wanita. Arja ini disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat, terutama karena menghadirkan komedi segar.
Fase-fase
Tiga fase penting dalam perkembangan Arja adalah:
Munculnya Arja Doyong (Arja tanpa iringan gamelan, dimainkan oleh satu orang).
Arja Gaguntangan (yang memakai gamelan gaguntangan dengan jumlah pelaku lebih dari satu orang).
Arja Gede (yang dibawakan oleh antara 10 sampai 15 pelaku dengan struktur pertunjukan yang sudah baku seperti yang ada sekarang).
Lakon
Sumber lakon Arja yang utama adalah cerita Panji (Malat), kemudian lahirlah sejumlah cerita seperti Bandasura, Pakang Raras, Linggar Petak, I Godogan, Cipta Kelangen, Made Umbara, Cilinaya dan Dempu Awang yang dikenal secara luas oleh masyarakat.
Arja juga menampilkan lakon-lakon dari cerita rakyat seperti Jayaprana, Sampik Ingtai, Basur dan Cupak Grantang serta beberapa lakon yang diangkat dari cerita Mahabharata dan Ramayana. Lakon apapun yang dibawakan Arja selalu menampilkan tokoh-tokoh utama yang meliputi Inya, Galuh, Desak (Desak Rai), Limbur, Liku, Panasar, Mantri Manis, Mantri Buduh dan dua pasang punakawan atau Panasar kakak beradik yang masing – masing terdiri dari Punta dan Kartala. Hampir semua daerah di Bali masih memiliki grup-grup Arja yang masih aktif.


Seni Rupa Bali

Seni lukis dan seni patung maupun seni pahat atau ukiran ini terbagi dalam dua bagian, yaitu berlanggam klasik dan modern. Langgam klasik sangat terlihat bercorak pewayangan, baik bentuk maupun tema yang diketengahkan dalam lukisan atau pahatan tersebut.
Lukisan gaya klasik Bali hanya terdapat di desa Kamasan, Klungkung. Lukisan model Kamasan mengambil bentuk dan tema pewayangan dengan penggunaan warna-warna yang cerah. Lukisan gaya Kamasan di langit-langit Bale Kertagosa dan Taman Gii Klungkung adalah peninggalan jaman kerajaan Klungkung yang menyodorkan tema pewayanganMahabarata.
Masih berpegang pada langgam pewayangan, seni patung, pahat dan ukir klasik, menunjukkan gaya yang sama dengan tampilan tiga dimensi. Sedikit berbeda dengan seni lukis klasik, seni pahat agak berkembang karena kebutuhan dan cabang seni lain seperti misalnya seni tari topeng, wayang wong, dan juga bidang arsitektur.
Pada perkembangan berikutnya, masuknya pengaruh luar pada jaman penjajahan Belanda, muncul gaya seni lukis modern. Tidak saja tema, namun gaya coretan dan penggunaan media pun lebih, bervariasi. Gaya Ubud, Pengosekan, KeIiki dan Batuan adalah pelopor munculnya seni lukis gaya modern. Seniman Bali tamatan sekolah seni, baik di Bali maupun di luar bali, memberi warna baru dalam perkembangan seni rupa. Dan gerakan inilah, dunia seni rupa Bali mengalami perkembangan, terutama akibat sering bersentuhan dengan pariwisata yang menyebabkan semakin tumbuh menjamurnya sarana gallery dan toko seni sepanjang kawasan wisata.
Seni Dari Persembahan ke Pertunjukkan
Sering dikatakan oleh para pakar seni budaya bahwa seni dan budaya Bali cenderung diciptakan sebagai suatu persembahan kepada maha pencipta diwarnai dengan rasa pengabdian yang tinggi terhadap seni tersebut. Jika suatu karya seni tradisional mampu menimbulkan getaran taksu atau memancarkan daya tarik maka hal itu bisa dipahami karena saat menciptakannya didorong oleh keinginan untuk mempersembahkan karya yang baik, jauh dari pikiran ego hak cipta dan nilai jual.
Karya seni dan budaya Bali pada awalnya muncul sebagai suatu kewajiban yang patut dilaksanakan oleh kelompok profesi tertentu dalam upaya mempersembahkan bakti yang sempurna kepada Tuhan lewat kegiatan keagamaan. 

Tarian dan karawitan diciptakan untuk mengungkap ekspresi kebahagiaan menyambut turunnya para Dewata disaat upacara di Pura, seni rupa yang diterjemahkan dalam lukisan dan pahatan selalu tampil dalam berbagai kelengkapan sajen sebagai media untuk menyambung komunikasi spiritual sedangkan nyanyian kidung dikumandangkan untuk mengungkapkan puja dan puji atas kesejahteraan yang dilimpahkan oleh para Dewata.
Manusia Bali, selain pelaku seni, juga adalah penikmat seni yang amat fanatik pada keseniannya. Dalam seni teater, berbagai lakon yang melandasi penciptaan seni dikemas dengan baik sehingga mudah dinikmati dan disimak untuk mengisi wawasan berpikir mereka. Para pemimpin di maSa lalu pun sigap melihat kegiatan seni sebagai media yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan kepada rakyat. Tak ayal seni sastra berkembang pesat memberi arah tujuan yang jelas kepada cabang seni lainnya. Karenanya, hampir di semua cabang seni, kemudian terjadi pemilahan secara jelas antara seni sakral hingga ke profan, dan seni persembahan ke seni pertunjukan.
Seni budaya Bali, sejak jaman sejarah, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan keseharian masyarakat Bali. Ketika jaman kekuasaan raja-raja amat kuat, berbagai cabang seni budaya merupakan kelangenan raja dan keluarga istana. Saat pola pemerintahan dan kehidupan rakyat Bali semakin mantap pada dasar filosofi agama Hindu, seni budaya Bali pun bergeser ke arah seni persembahan.

Dalam berbagai format keseharian penduduk Bali, seni budayanya senantiasa menandai jaman. Tak terpungkiri, pada akhrnya, seni budaya Bali mampu meredam dan mampu tetap tumbuh dalam berbagai gejolak jaman. Pada jaman penjajahan Belanda sekali pun, seni budaya Bali tetap tumbuh mengikuti jaman. Arsitektur, seni rupa, seni tari, seni karawitan dan berbagai cabang seni lainnya seolah tak luput dengan adanya perang Puputan di Badung, Klungkungdan Margarana di Kabupaten Tabanan.
Seni arsitektur Bali dengan ramah menenima pengaruh estetika luar. Bale Maskerdan di Puri Karangasem, Patra Wolanda, Patra Gina, dan Patra Kuta Mesir adalah bentuk-bentuk ornamen luar yang secara manis diserap oleh para undagi. Seni tari, seni karawitan dan seni rupa bahkan dikenal uleh dunia luar pada masa-masa penjajahan Belanda di Bali.
Saat kontak dengan bangsa asing di Bali memasuki era pariwisata di pertengahan dasa warsa 1960, secara pelan tapi pasti berbagai sarana hiburan wisatawan mulai ditampilkan untuk kepentingan pariwisata. Seni budaya Bali pun dikembangkan dan di redesign lagi untuk kepentingan pariwisata. Kemasan seni pentas (tari dan karawitan), tak lagi mengacu pada pesan dan cerita yang hendak disampaikan namun bergeser pada kemasan yang berpacu dengan waktu.
Nilai-Nilai Budaya
1. Tata krama : kebiasaan sopan santun yang di sepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia di dalam kelompoknya.
2. Nguopin : gotong royong.
3. Ngayah atau ngayang : kerja bakti untuk keperluan agama.
4. Sopan santun : adat hubungan dalam sopan pergaulan terhadap orang-orang yang berbeda sex.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar