Suku Mentawai yang Nyaris Punah
Awal Masyarakat Suku Mentawai
Tato adalah busana kebanggaan, dianggap abadi dan dipakai serta dikenakan hingga ajal. Warna tato biasanya biru kehitaman dan diungkapkan dalam garis-garis kontur geometris simetris. Bagian yang biasanya dihiasi tato adalah pipi dan punggung. Lalu disusul dengan tangan, dada, paha dan pantat, terakhir pangkal kaki antara lutut dan pergelangan kaki. Proses tato dilaksanakan pada tahap-tahap tertentu dalam umur manusia, diawali pada usia 7-11 tahun dan dilanjutkan secara bertahap hingga usia 18-19 tahun.
Fungsi Tato
Dalam adat suku Mentawai, tato memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut.
Jati Diri, Status Sosial atau Profesi
Seorang pemburu memilki tato bergambar hewan buruannya, seperti babi, rusa, kera, burung, atau buaya. Berbeda dengan tato yang dimiliki oleh seorang dukun, yang bergambar bintang sibalu-balu. Berbeda pula dengan seorang yang ahli bertarung dan sebagainya.
Simbol Keseimbangan Alam
Suku Mentawai sangat menghormati alam karena mereka hidup berdampingan dengan alam. Oleh karena itu, mereka sangat memperhatikan keseimbangan alam. Hal itu diekspresikan dengan tato yang bergambar pohon, matahari, hewan, batu, dan sebagainya.
Keindahan
Suku Mentawai juga terkenal dengan masyarakatnya yang memiliki citra seni tinggi. Hal ini dapat dilihat dari aneka kerajinannya yang sudah dikenal ke mancanegara.
Tidak heran bila mereka menjadika tato sebagai media untuk mengekspresikan keindahan. Berbagai macam gambar menghiasi tubuh mereka sesuai dengan kreativitas, seperti berbagai alat perang, daun beraneka motif, dan lain-lain.
Prosesi Penatoan
Anak laki-laki yang sudah menginjak usia 11-12 tahun (sudah akil balig) oleh orang tuanya akan dipanggilkan dukun (sikerei) dan kepala suku (rimata). Mereka merundingkan waktu pelaksanaan penatoan.
Bila sudah disepakati hari dan bulannya, akan dipanggilkan Sipatiti (pembuat tato). Jasa pembuatan tato akan dibayar dengan seekor babi.
Prosesi penatoan dimulai dengan punen enegat atau upacara inisiasi yang dipimpin dukun sikerei. Bertempat di puturukat (tempat khusus penatoan milik sipatiti).
Penatoan dimulai dari telapak tangan, tangan, kaki, lalu ke seluruh tubuh. Pertama-tama, badan si anak dibuatkan gambar sketsa dengan menggunakan lidi. Setelah itu, dimasukkan zat pewarna ke dalam lapisan kulit dengan cara menusukkan jarum sambil dipukul perlahan.
Jarum yang digunakan terbuat dari tulang hewan atau kayu karai yang diruncingkan. Adapun pewarna yang digunakan adalah campuran arang tempurung kelapa dan daun pisang.
Setelah pewarna tadi masuk ke lapisan kulit, selesailah penatoan. Bahan pewarna tadi akan terserap permanen di kulit si bocah.
Bila sudah selesai, orang tua si bocah yang ditato akan mengadakan pesta dengan menyembelih babi dan ayam. Daging babi dan ayam ini juga sebagai upah yang diberikan untuk sikerei.
Awal Masyarakat Suku Mentawai
Nenek moyang orang Mentawai mungkin
datang ke Pulau Siberut sekitar 300 tahun yang lalu. Asal usul mereka belum
diketahui, namun beberapa literatur dan peniliti mengarahkan dan menduga kuat,
mereka berasal dari Batak Kuno, Sumatera Utara. Tipe kebudayaan ini mungkin
menyebar di seluruh Indonesia pada masa lampau, tetapi telah dipengaruhi oleh
kebudayaan lain (Hindu, Budha dan Islam yang datang dari daerah luar).
Suku Mentawai adalah penghuni asli Kepulauan Mentawai. Sebagaimana suku Nias dan suku Ennggano,
mereka adalah pendukung budaya Proto Melayu yang menetap di Kepulauan Nusantara sebelah barat. Daerah hunian warga
Mentawai, selain di Mentawai juga di Kepulauan Pagai Utara dan Pagai Selatan.
Suku ini dikenal sebagai peramu dan ketika pertama kali dipelajari belum
mengenal bercocok tanam. Tradisi yang khas adalah penggunaan tato di sekujur
tubuh, yang terkait dengan peran dan status sosial penggunanya.
Suku bangsa Mentawai mendiami rangkaian
kepulauan Mentawai, lepas pantai propinsi Sumatera Barat, yang terdiri dari
pulau-pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Sebagian besar dari
mereka menganut kepercayaan animistik dimana setiap benda apakah itu batu,
binatang atau manusia memiliki roh. Sampai dengan ± 50 tahun yang lalu
masyarakat Mentawai masih hidup dalam kebudayaan neolitik berikut segenap tata
cara adat istiadat, perikehidupan serta ungkapan budayanya.
Struktur Sosial Masayarakat Suku Mentawai
Struktur sosial masyarakat Mentawai bersifat patrilinial dan
kehidupan sosialnya dalam suku di sebut Uma. Struktur sosial tradisional adalah
kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang juga disebut Uma di tengah
tanah suku mereka.
Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap
anggota dewasa Uma mempunyai hak yang sama, kecuali "SIKEREI" (atau
dukun) yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan
memimpin upacara kagamaan.
Arat Sabulungan
Berbicara mengenai budaya Mentawai, tidak bisa terlepas
dari Arat Sabulungan. Arat Sabulungan berasal dari kata sa (se) atau
'sekumpulan', dan bulung yang artinya 'daun'. Jadi, Arat Sabalungan adalah
sekumpulan daun yang dirangkai dalam lingkaran terbuat dari pucuk enau atau
rumbia yang diyakini memiliki tenaga gaib (kere).
Daun bagi suku Mentawai dianggap memiliki kekuatan magis untuk
menyembuhkan dan menghidupkan. Daun selalu ada dalam upacara-upacara suku Mentawai.
Masyarakat Mentawai pun dikenal dengan kemampuan mereka yang menakjubkan, yakni
menyembuhkan orang sakit dengan menggunakan daun-daunan liar yang tumbuh di
hutan. Daun juga dipercaya mampu menghubungkan manusia dengan penguasa jagat
raya yang disebut Ulau Manua.
Arat Sabalungan dipakai sebagai media pemujaan Tai Kabagat
Koat (Dewa Laut), Tai Ka-leleu (roh hutan dan gunung), dan Tai Ka Manua (roh
awang-awang).
Arat Sabulungan merupakan sistem yang mengatur masyarakat
Mentawai yang mencakup pengetahuan, nilai, dan aturan hidup yang dipegang kuat
dan diwariskan turun-temurun.
Masyarakat tradisional Mentawai percaya bahwa hutan merupakan
kepercayaan tradisional yang diyakini sebagai tempat roh-roh leluhur yang turut
menjaga segala jenis tumbuh-tumbuhan obat yang sangat berguna bagi kelangsungan
hidup manusia, kepercayaan tersebut dikenal dengan Arat Sabulungan. . Alam sangat dihormati karena
mereka percaya semua benda yang hidup ada pemiliknya. Tentu saja pemilik akan
marah jika yang dimilikinya dirusak.
Kepercayaan itu mengajarkan manusia untuk memperlakukan alam,
tumbuh-tumbuhan, air, dan binatang seperti dirinya.
Contohnya, tidak boleh menebang pohon sembarangan tanpa
izin panguasa hutan (taikaleleu), perintah untuk menjaga keseimbangan dan
keharmonisan alam, melakukan persembahan kapada roh nenek moyang, dan
sebagainya.
Menebangnya pun dengan sistem tebang pilih, tidak boleh sembarangan.
Sebelum menebang pohon atau hutan, harus pula diadakan punen atau lia yang
merupakan suatu upacara adat semacam permintaan izin dan ucapan terima kasih.
Tidak hanya menebang hutan, mengotori air juga merupakan suatu
tindakan yang tidak bisa dibenarkan, bahkan bisa mendatangkan hukuman berupa
denda adat. Denda itu setara dengan seekor babi, yang termasuk harta berharga
bagi masyarakat Mentawai. Di sungai, buang air kecil saja dilarang, apalagi
buang air besar, sangat tidak diperbolehkan karena air adalah sumber kehidupan.
Air dari hulu ke hilir sungai memang terlihat bersih tanpa pencemaran.
Oleh karena itu setiap mengambil sesuatu di dalam hutan seperti
kayu buat rumahnya mereka selalu menanam yang baru, sehingga kelestarian hutan
di Mentawai tetap terjaga.
Disamping itu, Arat
Sabulungan selalu digunakan pada saat upacara kelahiran, perkawinan,
pengobatan, pindah rumah, dan penatoan.
Aspek Busana Suku Mentawai
Tatabusana masyarakat asli Mentawai
mencerminkan azasazas egaliter, dalam tatanan masyarakat tidak ada
strata-strata sosial, pimpinan atau anak buah. Pembedaan busana lebhh
ditentukan pada kejadian, peristiwa, upacara yang dalam hal ini adalah upacara
khusus tentang penghormatan arwah (punen).
Selain itu busana juga mengungkapkan
ciri-ciri kedekatan penyandangnya dengan alam lingkungan yang tropis, berhutan
lebat berikut keaneka ragaman floranya. Hal ini antara lain tampak pada
banyaknya hiasan floral yang dikenakan.
Salah satu
kelengkapan busana suku Mentawai, yang khususnya dipakai kaum pria adalah
cawat, penutup aurat, terbuat dari kulit kayu pohon baguk dan
sebut kabit. Kaum wanita memakai sejenis rok yang terbuat dari
dedaunan pisang yang diolah secara khusus dan dililitkan kepinggang untuk
menutupi aurat, disebut sokgumai. Selain kabit dan sokgumai, orang-orang
Mentawai dapat dikatakan tidak menggunakan apa-apa lagi yang benar-benar
menutup tubuhnya selain aneka perhiasan serta dekorasi tubuh yang terbuat dari
untaian manik-manik, gelang-gelang, bunga-bungaan dan daundaunan.
Kalung manik-manik yang sangat impresif
yaitu ngaleu menghiasi leher dalam jumlah yang dapat mencapai puluhan, terbuat
dari gelas berwarna merah, kuning, putih dan hitam atau hijau. Kedua
pergelangan tangan juga dihiasi dengan gelang-gelang manik-manik. Demikian pula
pada kedua pangkal lengan dan pada bagian kepala berbaur dengan aneka bunga dan
daun-daunan. Ikat kepala ini dinamakan sorat. Sedangkan gelang manik pangkal
lengan disebut lekkeu.
Tampilan busana selengkapnya suku Mentawai
ini dikenakan pada upacara punen, suatu ritus yang ditujukan untuk menghormati
roh nenek moyang. Peristiwa ini melaksanakan praktek sikerei, suatu kegiatan
perdukunan. Ritus ini dipimpin oleh seorang kerei (dukun) dalam busana kerei
yang sebenarnya adalah busana tradisional Mentawai yang dihiasi dan ditaburi
berbagai dekorasi yang lebih banyak dari pada keadaan sehari-hari.
Busana kerei ini selain terdiri atas kabit
dan sorat juga dilengkapi
- sobok, sejenis kain penutup
aurat bercorak dibagian depan kabit.
- rakgok, ikat pinggang dari
lilitan kain polos, biasanya merah.
- pakalo, botol kecil tempat
ramuan obat-obatan.
- lei-lei , rnahkota dari bulu-buluan dan
bunga-bungaan.
- cermin raksa, bergantung pada kalung
depan dada.
- ogok, sejenis subang pada
kedua telinga.
Tato
dalam Suku Mentawai
Tato
merupakan simbol kejantanan, kedewasaan dan keperkasaan bagi kaun pria. Selain
itu tato, atau tik-tikdalam
bahasa daerah Mentawai juga merupakan identifikasi marga atau daerah asal
penyandangnya. Setiap marga (klan) dan dapat memiliki corak tatonya masingmasing.
Tato juga menjadi ungkapan keindahan dan selain mendatangkan kekuatan juga
dipercaya sebagai pembawa keselamatan serta kerukunan dalam kehidupan sosial
masyarakat.Tato adalah busana kebanggaan, dianggap abadi dan dipakai serta dikenakan hingga ajal. Warna tato biasanya biru kehitaman dan diungkapkan dalam garis-garis kontur geometris simetris. Bagian yang biasanya dihiasi tato adalah pipi dan punggung. Lalu disusul dengan tangan, dada, paha dan pantat, terakhir pangkal kaki antara lutut dan pergelangan kaki. Proses tato dilaksanakan pada tahap-tahap tertentu dalam umur manusia, diawali pada usia 7-11 tahun dan dilanjutkan secara bertahap hingga usia 18-19 tahun.
Fungsi Tato
Dalam adat suku Mentawai, tato memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut.
Jati Diri, Status Sosial atau Profesi
Seorang pemburu memilki tato bergambar hewan buruannya, seperti babi, rusa, kera, burung, atau buaya. Berbeda dengan tato yang dimiliki oleh seorang dukun, yang bergambar bintang sibalu-balu. Berbeda pula dengan seorang yang ahli bertarung dan sebagainya.
Simbol Keseimbangan Alam
Suku Mentawai sangat menghormati alam karena mereka hidup berdampingan dengan alam. Oleh karena itu, mereka sangat memperhatikan keseimbangan alam. Hal itu diekspresikan dengan tato yang bergambar pohon, matahari, hewan, batu, dan sebagainya.
Keindahan
Suku Mentawai juga terkenal dengan masyarakatnya yang memiliki citra seni tinggi. Hal ini dapat dilihat dari aneka kerajinannya yang sudah dikenal ke mancanegara.
Tidak heran bila mereka menjadika tato sebagai media untuk mengekspresikan keindahan. Berbagai macam gambar menghiasi tubuh mereka sesuai dengan kreativitas, seperti berbagai alat perang, daun beraneka motif, dan lain-lain.
Prosesi Penatoan
Anak laki-laki yang sudah menginjak usia 11-12 tahun (sudah akil balig) oleh orang tuanya akan dipanggilkan dukun (sikerei) dan kepala suku (rimata). Mereka merundingkan waktu pelaksanaan penatoan.
Bila sudah disepakati hari dan bulannya, akan dipanggilkan Sipatiti (pembuat tato). Jasa pembuatan tato akan dibayar dengan seekor babi.
Prosesi penatoan dimulai dengan punen enegat atau upacara inisiasi yang dipimpin dukun sikerei. Bertempat di puturukat (tempat khusus penatoan milik sipatiti).
Penatoan dimulai dari telapak tangan, tangan, kaki, lalu ke seluruh tubuh. Pertama-tama, badan si anak dibuatkan gambar sketsa dengan menggunakan lidi. Setelah itu, dimasukkan zat pewarna ke dalam lapisan kulit dengan cara menusukkan jarum sambil dipukul perlahan.
Jarum yang digunakan terbuat dari tulang hewan atau kayu karai yang diruncingkan. Adapun pewarna yang digunakan adalah campuran arang tempurung kelapa dan daun pisang.
Setelah pewarna tadi masuk ke lapisan kulit, selesailah penatoan. Bahan pewarna tadi akan terserap permanen di kulit si bocah.
Bila sudah selesai, orang tua si bocah yang ditato akan mengadakan pesta dengan menyembelih babi dan ayam. Daging babi dan ayam ini juga sebagai upah yang diberikan untuk sikerei.
Pengaruh Luar Terhadap Suku
Mentawai
Seiring masuknya pengaruh dari luar, baik masa penjajahan maupun
setelah kemerdekaan Indonesia, sabulungantidak
bisa lagi dilakukan dalam bentuk formal. Sabulungan dianggap kepercayaan yang sesat,
bahkan segala atribut mereka dibakar dan dimusnahkan. Padahal, yang mereka
sembah adalah penguasa langit dan bumi yang tidak kelihatan, yang oleh sejumlah
agama disebut Tuhan.
Meski demikian, sabulungan tetap hidup dalam jiwa masyarakat suku
Mentawai. Mereka arif menjaga dan melindungi hutan di tanah mereka melalui
peraturan adat.
Meski masyarakat Mentawai saat ini sudah memeluk agama formal,
seperti yang diharuskan pemerintah, kearifan lokal itu masih terjaga.
Masyarakat Mentawai yang hidup di pedalaman masih menjaga tradisi menghormati
alam semesta. Salah satu bentuk sabulungan saat ini terwujud dalam upacara
penyembuhan orang sakit oleh sikerei.
Tidak hanya daun yang berkhasiat untuk menyembuhkan si sakit,
hutan pun memberikan kayu yang bagus yang bisa dibuat sampan jika
keseimbangannya dijaga. Sampan merupakan sarana vital masyarakat suku Mentawai
untuk saling berhubungan antara satu daerah dengan daerah lain..
Karena kearifan lokal yang sering disebut sabulungan yang mendarah daging di dalam suku
Mentawai, mereka bisa menentukan tempat yang tepat untuk berladang. Ladang
mereka selalu aman, jauh dari bencana longsor, misalnya, karena mereka
mengganti pohon yang ditebang dengan tanaman baru.
Namun, kearifan lokal itu dalam menjaga hutan harus bentrok dengan
hak pengusahaan hutan (HPH) dan izin pemanfaatan kayu (IPK) yang mulai marak di
Pulau Siberut. Sekitar tahun 1970-an pemerintah membagi hutan Siberut seluas
408.000 hektar untuk empat HPH dan hanya menyisakan 6.000 hektar untuk suaka
margasatwa serta 65.000 hektar untuk permukiman dan pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar