Sumatera

Suku Mentawai yang Nyaris Punah


Awal  Masyarakat Suku Mentawai



Nenek moyang orang Mentawai mungkin datang ke Pulau Siberut sekitar 300 tahun yang lalu. Asal usul mereka belum diketahui, namun beberapa literatur dan peniliti mengarahkan dan menduga kuat, mereka berasal dari Batak Kuno, Sumatera Utara. Tipe kebudayaan ini mungkin menyebar di seluruh Indonesia pada masa lampau, tetapi telah dipengaruhi oleh kebudayaan lain (Hindu, Budha dan Islam yang datang dari daerah luar). 
Suku Mentawai adalah penghuni asli Kepulauan Mentawai. Sebagaimana suku Nias dan suku Ennggano, mereka adalah pendukung budaya Proto Melayu yang menetap di Kepulauan Nusantara sebelah barat. Daerah hunian warga Mentawai, selain di Mentawai juga di Kepulauan Pagai Utara dan Pagai Selatan. Suku ini dikenal sebagai peramu dan ketika pertama kali dipelajari belum mengenal bercocok tanam. Tradisi yang khas adalah penggunaan tato di sekujur tubuh, yang terkait dengan peran dan status sosial penggunanya.
Suku bangsa Mentawai mendiami rangkaian kepulauan Mentawai, lepas pantai propinsi Sumatera Barat, yang terdiri dari pulau-pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Sebagian besar dari mereka menganut kepercayaan animistik dimana setiap benda apakah itu batu, binatang atau manusia memiliki roh. Sampai dengan ± 50 tahun yang lalu masyarakat Mentawai masih hidup dalam kebudayaan neolitik berikut segenap tata cara adat istiadat, perikehidupan serta ungkapan budayanya.

Struktur Sosial Masayarakat Suku Mentawai


Struktur sosial masyarakat Mentawai bersifat patrilinial dan kehidupan sosialnya dalam suku di sebut Uma. Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang juga disebut Uma di tengah tanah suku mereka.
Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa Uma mempunyai hak yang sama, kecuali "SIKEREI" (atau dukun) yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara kagamaan. 


Arat Sabulungan

Berbicara mengenai budaya Mentawai, tidak bisa terlepas dari Arat Sabulungan. Arat Sabulungan berasal dari kata sa (se) atau 'sekumpulan', dan bulung yang artinya 'daun'. Jadi, Arat Sabalungan adalah sekumpulan daun yang dirangkai dalam lingkaran terbuat dari pucuk enau atau rumbia yang diyakini memiliki tenaga gaib (kere).

Daun bagi suku Mentawai dianggap memiliki kekuatan magis untuk menyembuhkan dan menghidupkan. Daun selalu ada dalam upacara-upacara suku Mentawai. Masyarakat Mentawai pun dikenal dengan kemampuan mereka yang menakjubkan, yakni menyembuhkan orang sakit dengan menggunakan daun-daunan liar yang tumbuh di hutan. Daun juga dipercaya mampu menghubungkan manusia dengan penguasa jagat raya yang disebut Ulau Manua.

Arat Sabalungan dipakai sebagai media pemujaan Tai Kabagat Koat (Dewa Laut), Tai Ka-leleu (roh hutan dan gunung), dan Tai Ka Manua (roh awang-awang).
Arat Sabulungan merupakan sistem yang mengatur masyarakat Mentawai yang mencakup pengetahuan, nilai, dan aturan hidup yang dipegang kuat dan diwariskan turun-temurun.
Masyarakat tradisional Mentawai percaya bahwa hutan merupakan kepercayaan tradisional yang diyakini sebagai tempat roh-roh leluhur yang turut menjaga segala jenis tumbuh-tumbuhan obat yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup manusia, kepercayaan tersebut dikenal dengan Arat Sabulungan. . Alam sangat dihormati karena mereka percaya semua benda yang hidup ada pemiliknya. Tentu saja pemilik akan marah jika yang dimilikinya dirusak.
Kepercayaan itu mengajarkan manusia untuk memperlakukan alam, tumbuh-tumbuhan, air, dan binatang seperti dirinya.
Contohnya, tidak boleh menebang pohon sembarangan tanpa izin panguasa hutan (taikaleleu), perintah untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam, melakukan persembahan kapada roh nenek moyang, dan sebagainya.
Menebangnya pun dengan sistem tebang pilih, tidak boleh sembarangan. Sebelum menebang pohon atau hutan, harus pula diadakan punen  atau lia yang merupakan suatu upacara adat semacam permintaan izin dan ucapan terima kasih.
Tidak hanya menebang hutan, mengotori air juga merupakan suatu tindakan yang tidak bisa dibenarkan, bahkan bisa mendatangkan hukuman berupa denda adat. Denda itu setara dengan seekor babi, yang termasuk harta berharga bagi masyarakat Mentawai. Di sungai, buang air kecil saja dilarang, apalagi buang air besar, sangat tidak diperbolehkan karena air adalah sumber kehidupan. Air dari hulu ke hilir sungai memang terlihat bersih tanpa pencemaran.

Oleh karena itu setiap mengambil sesuatu di dalam hutan seperti kayu buat rumahnya mereka selalu menanam yang baru, sehingga kelestarian hutan di Mentawai tetap terjaga.
Disamping itu,  Arat Sabulungan selalu digunakan pada saat upacara kelahiran, perkawinan, pengobatan, pindah rumah, dan penatoan.


Aspek Busana Suku Mentawai

Tatabusana masyarakat asli Mentawai mencerminkan azas­azas egaliter, dalam tatanan masyarakat tidak ada strata-strata sosial, pimpinan atau anak buah. Pembedaan busana lebhh ditentukan pada kejadian, peristiwa, upacara yang dalam hal ini adalah upacara khusus tentang penghormatan arwah (punen).
Selain itu busana juga mengungkapkan ciri-ciri kedekatan penyandangnya dengan alam lingkungan yang tropis, berhutan lebat berikut keaneka ragaman floranya. Hal ini antara lain tampak pada banyaknya hiasan floral yang dikenakan.
Salah satu kelengkapan busana suku Mentawai, yang khususnya dipakai kaum pria adalah cawat, penutup aurat, terbuat dari kulit kayu pohon baguk dan sebut kabit. Kaum wanita memakai sejenis rok yang terbuat dari dedaunan pisang yang diolah secara khusus dan dililitkan kepinggang untuk menutupi aurat, disebut sokgumai. Selain kabit dan sokgumai, orang-orang Mentawai dapat dikatakan tidak menggunakan apa-apa lagi yang benar-benar menutup tubuhnya selain aneka perhiasan serta dekorasi tubuh yang terbuat dari untaian manik-manik, gelang-gelang, bunga-bungaan dan daun­daunan.
Kalung manik-manik yang sangat impresif yaitu ngaleu menghiasi leher dalam jumlah yang dapat mencapai puluhan, terbuat dari gelas berwarna merah, kuning, putih dan hitam atau hijau. Kedua pergelangan tangan juga dihiasi dengan gelang-gelang manik-manik. Demikian pula pada kedua pangkal lengan dan pada bagian kepala berbaur dengan aneka bunga dan daun-daunan. Ikat kepala ini dinamakan sorat. Sedangkan gelang manik pangkal lengan disebut lekkeu.
Tampilan busana selengkapnya suku Mentawai ini dikenakan pada upacara punen, suatu ritus yang ditujukan untuk menghormati roh nenek moyang. Peristiwa ini melaksanakan praktek sikerei, suatu kegiatan perdukunan. Ritus ini dipimpin oleh seorang kerei (dukun) dalam busana kerei yang sebenarnya adalah busana tradisional Mentawai yang dihiasi dan ditaburi berbagai dekorasi yang lebih banyak dari pada keadaan sehari-hari.
Busana kerei ini selain terdiri atas kabit dan sorat juga dilengkapi
  • sobok, sejenis kain penutup aurat bercorak dibagian depan kabit.
  • rakgok, ikat pinggang dari lilitan kain polos, biasanya merah.
  • pakalo, botol kecil tempat ramuan obat-obatan.
  • lei-lei , rnahkota dari bulu-buluan dan bunga-bungaan.
  • cermin raksa, bergantung pada kalung depan dada.
  • ogok, sejenis subang pada kedua telinga.

Tato dalam Suku Mentawai

Tato merupakan simbol kejantanan, kedewasaan dan keperkasaan bagi kaun pria. Selain itu tato, atau tik-tikdalam bahasa daerah Mentawai juga merupakan identifikasi marga atau daerah asal penyandangnya. Setiap marga (klan) dan dapat memiliki corak tatonya masing­masing. Tato juga menjadi ungkapan keindahan dan selain mendatangkan kekuatan juga dipercaya sebagai pembawa keselamatan serta kerukunan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Tato adalah busana kebanggaan, dianggap abadi dan dipakai serta dikenakan hingga ajal. Warna tato biasanya biru kehitaman dan diungkapkan dalam garis-garis kontur geometris simetris. Bagian yang biasanya dihiasi tato adalah pipi dan punggung. Lalu disusul dengan tangan, dada, paha dan pantat, terakhir pangkal kaki antara lutut dan pergelangan kaki. Proses tato dilaksanakan pada tahap-tahap tertentu dalam umur manusia, diawali pada usia 7-11 tahun dan dilanjutkan secara bertahap hingga usia 18-19 tahun.


Fungsi Tato


Dalam adat suku Mentawai, tato memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut.
Jati Diri, Status Sosial atau Profesi
Seorang pemburu memilki tato bergambar hewan buruannya, seperti babi, rusa, kera, burung, atau buaya. Berbeda dengan tato yang dimiliki oleh seorang dukun, yang bergambar bintang sibalu-balu. Berbeda pula dengan seorang yang ahli bertarung dan sebagainya.

Simbol Keseimbangan Alam
Suku Mentawai sangat menghormati alam karena mereka hidup berdampingan dengan alam. Oleh karena itu, mereka sangat memperhatikan keseimbangan alam. Hal itu diekspresikan dengan tato yang bergambar pohon, matahari, hewan, batu, dan sebagainya.
Keindahan
Suku Mentawai juga terkenal dengan masyarakatnya yang memiliki citra seni tinggi. Hal ini dapat dilihat dari aneka kerajinannya yang sudah dikenal ke mancanegara.
Tidak heran bila mereka menjadika tato sebagai media untuk mengekspresikan keindahan. Berbagai macam gambar menghiasi tubuh mereka sesuai dengan kreativitas, seperti berbagai alat perang, daun beraneka motif, dan lain-lain.




Prosesi Penatoan


Anak laki-laki yang sudah menginjak usia 11-12 tahun (sudah akil balig) oleh orang tuanya akan dipanggilkan dukun (sikerei) dan kepala suku (rimata). Mereka merundingkan waktu pelaksanaan penatoan.
Bila sudah disepakati hari dan bulannya, akan dipanggilkan Sipatiti (pembuat tato). Jasa pembuatan tato akan dibayar dengan seekor babi.
Prosesi penatoan dimulai dengan punen enegat atau upacara inisiasi yang dipimpin dukun sikerei. Bertempat di puturukat (tempat khusus penatoan milik sipatiti).
Penatoan dimulai dari telapak tangan, tangan, kaki, lalu ke seluruh tubuh. Pertama-tama, badan si anak dibuatkan gambar sketsa dengan menggunakan lidi. Setelah itu, dimasukkan zat pewarna ke dalam lapisan kulit dengan cara menusukkan jarum sambil dipukul perlahan.
Jarum yang digunakan terbuat dari tulang hewan atau kayu karai yang diruncingkan. Adapun pewarna yang digunakan adalah campuran arang tempurung kelapa dan daun pisang.
Setelah pewarna tadi masuk ke lapisan kulit, selesailah penatoan. Bahan pewarna tadi akan terserap permanen di kulit si bocah.
Bila sudah selesai, orang tua si bocah yang ditato akan mengadakan pesta dengan menyembelih babi dan ayam. Daging babi dan ayam ini juga sebagai upah yang diberikan untuk sikerei.


Pengaruh Luar  Terhadap Suku Mentawai

Seiring masuknya pengaruh dari luar, baik masa penjajahan maupun setelah kemerdekaan Indonesia, sabulungantidak bisa lagi dilakukan dalam bentuk formal. Sabulungan dianggap kepercayaan yang sesat, bahkan segala atribut mereka dibakar dan dimusnahkan. Padahal, yang mereka sembah adalah penguasa langit dan bumi yang tidak kelihatan, yang oleh sejumlah agama disebut Tuhan.
Meski demikian, sabulungan tetap hidup dalam jiwa masyarakat suku Mentawai. Mereka arif menjaga dan melindungi hutan di tanah mereka melalui peraturan adat.
Meski masyarakat Mentawai saat ini sudah memeluk agama formal, seperti yang diharuskan pemerintah, kearifan lokal itu masih terjaga. Masyarakat Mentawai yang hidup di pedalaman masih menjaga tradisi menghormati alam semesta. Salah satu bentuk sabulungan saat ini terwujud dalam upacara penyembuhan orang sakit oleh sikerei.
Tidak hanya daun yang berkhasiat untuk menyembuhkan si sakit, hutan pun memberikan kayu yang bagus yang bisa dibuat sampan jika keseimbangannya dijaga. Sampan merupakan sarana vital masyarakat suku Mentawai untuk saling berhubungan antara satu daerah dengan daerah lain..
Karena  kearifan lokal yang  sering disebut sabulungan yang mendarah daging di dalam suku Mentawai, mereka bisa menentukan tempat yang tepat untuk berladang. Ladang mereka selalu aman, jauh dari bencana longsor, misalnya, karena mereka mengganti pohon yang ditebang dengan tanaman baru.
Namun, kearifan lokal itu dalam menjaga hutan harus bentrok dengan hak pengusahaan hutan (HPH) dan izin pemanfaatan kayu (IPK) yang mulai marak di Pulau Siberut. Sekitar tahun 1970-an pemerintah membagi hutan Siberut seluas 408.000 hektar untuk empat HPH dan hanya menyisakan 6.000 hektar untuk suaka margasatwa serta 65.000 hektar untuk permukiman dan pertanian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar