Jawa

Suku Tengger, Kedamaian di Gunung Bromo


Awal  Mula Suku Tengger

Menurut legenda, pada zaman dahulu ketika agama Islam masuk, terjadi perselisihan antar kerajaan di pulau Jawa. Majapahit yang merupakan penganut Hindu-Budha merasa terdesak kemudian berpencar untuk melarikan diri. Sebagian ke Bali, sebagian lagi lari ke arah Bromo dan Semeru.

Pasangan Roro Anteng dan Joko Seger adalah dua orang Majapahit yang ikut lari ke Bromo. Mereka kemudian menjadi pemimpin di daerah tersebut dan menamainya sebagai sebagai Tengger (“Teng” dari nama Roro Anteng, “Ger” dari nama Joko Seger). Sampai sekarang, ada kepercayaan bahwa suku Tengger merupakan keturunan dari kedua penguasa Bromo tersebut.





Geografis Masyarakat Suku Tengger

Luas daerah Tengger kurang lebih 40km dan utara ke selatan; 20-30 km dan timur ke barat, di atas ketinggian antara 1000m – 3675 m. Daerah Tengger teletak pada bagian dari empat kabupaten, yaitu : Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Tipe permukaan tanahnya bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam. Kaldera Tengger adalah lautan pasir yang terluas, terletak pada ketinggian 2300 m, dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung Bromo, dengan ketinggian 2392 m, dan masih aktif .Di sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m.
Wilayah Adat Suku Tengger terbagi menjadi dua wilayah yaitu Sabrang Kulon (Brang Kulon diwakili oleh Desa Tosari Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan )dan Sabrang Wetan ( Brang Wetan diwakili oleh Desa Ngadisari,Wanantara,Jetak Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo ). Perwakilan oleh Desa T osari dan tiga Desa tersebut mengacu pada Prosesi Pembukaan Upacara Karo yang sekaligus membukla Jhodang Wasiat / Jimat Klontong.

Iklim daerah Tengger adalah hujan dan kemarau. Musim kemarau terjadi antara bulan Mei-Oktober. Curah hujan di Sukapura sekitar 1800 mm, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan November-April, dengan persentase 20 hari/lebih hujan turun dalam satu bulan. Suhu udara berubah-ubah, tergantung ketinggian, antara 3º – 18º Celsius. Selama musim hujan kelembaban udara rata-rata 80%. Temperaturnya sepanjang hari terasa sejuk, dan pada malam hari terasa dingin. Pada musim kemarau temperatur malam hari terasa lebih dingin daripada musim hujan. Pada musim dingin biasanya diselimuti kabut tebal. Di daerah perkampungan, kabut mulai menebal pada sore hari. Di daerah sekitar puncak Gunung Bromo kabut mulai menebal pada pagi hari sebelum fajar menyingsing.

Keadaan tanah daerah Tengger gembur seperti pasir, namun cukup subur. Tanaman keras yang tumbuh terutama adalah agathis laranthifolia, pinus merkusii, tectona, grandis leucaena, dan swietenia altingia excelsa, anthocepalus cadamba. Di kaki bukit paling atas ditumbuhi pohon cemara sampai di ketinggian 3000 dpl yaitu lereng Gunung Semeru.

Sosial  Masyarakat Suku Tengger

Di dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger mempunyai kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai. Mereka adalah petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak yang berbukit-bukit. Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari cangkul,sabit dan semacamnya. Hasil pertaniannya itu terutama adalah jagung, kopi, kentang, kubis, bawang prei, Wortel dsb. Kebanyakan mereka bertempat tinggal jauh dari ladangnya, sehingga harus membuat gubuh-gubuk sederhana di ladangnya untuk berteduh sementara waktu siang hari. Mereka bekerja sangat rajin dan pagi hingga petang hari di ladangnya.

Pada umumnya masyarakat Tengger hidup sangat sederhana dan hemat. Kelebihan penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat dengan adat- istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun-temurun. Dukun berperan penting dalam melaksanakan upacara Adat. Dukun berperan dalam segala pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan, kematian atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dukun sebagai tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah kehidupan.
Kehidupan pada masyarakat Tengger penuh dengan kedamaian dan kondisi masyarakatnya sangat aman. Segala masalah dapat diselesaikan dengan mudah atas peranan orang yang berpengaruh pada masyarakat tersebut dengan sistem musyawarah. Pelanggaran yang dilakukan cukup diselesaikan oleh Petinggi ( Kepala Desa) dan biasanya mereka patuh. Apabila cara ini tidak juga menolong, maka si pelaku pelanggaran itu cukup disatru (tidak diajak bicara) oleh seluruh penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala peraturan pemerintah yang ada, seperti kewajiban membayak pajak, kerja bakti dan sebagainya.

Penduduk di sekitar Taman Nasional Bromo kurang lebih sebanyak 128.181 jiwa dengan distribusi sebagai berikut: petani penggarap 48.625 orang (37,93%), buruh tani 10.461 orang (8,16%), karyawan dan ABRI 1.595 orang (1,24%), pedagang 3.009 orang (2,38%), pengrajin/industri kecil 343 orang (0,01%), dan lain-lain sekitar 64.140 orang (50,05%). Penduduk masyarakat Tengger pada umumnya bertempat tinggal berkelompok di bukit-bukit mendekati lahan pertanian. Mereka hidup dari bercocok tanam di ladang, dengan pengairan tadah hujan. Pada mulanya mereka menanam jagung sebagai makanan pokok, akan tetapi saat ini sudah berubah. Pada musim hujan mereka menanam sayuran seperti kentang, kubis, bawang, dan wortel sebagai tanaman perdagangan. Pada penghujung akhir musim hujan mereka menanam jagung sebagai cadangan lakanan pokok.
Sejak zaman pemerintahan Majapahit, tingkat perkembangan penduduk Tengger tergolong lambat. Sejarah perkembangan masyarakat Tengger tidak diketahui dengan jelas, kecuali secara samar sebagai hasil penelitian Nancy (1985).
Masyarakat Tengger saat ini sudah ada yang membuka usaha Jasa ( Persewaan Home Stay dan Jeep Hard Top sebagai transportasi ke Bromo ),hal ini di lakukan semenjak Bromo di buka sebagai obyek wisata

Kehidupan Beragama dalam Masyarakat Suku Tengger

Perpaduan antara sinkretisme dan agama Hindu ini melahirkan kekhasan tradisi Suku Tengger. Kepercayaan mereka terhadap perbintangan dan leluhur memang menanamkan nilai-nilai luhur dan mengajarkan toleransi dalam memandang perbedaan. Oleh karena itu Suku ini tidak tertelan oleh zaman. Masuknya beragam agama, bagi mereka merupakan konsekuensi bahwa Suku Tengger hidup di tengah-tengah masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.

Suku Tengger memiliki sejarah sendiri dengan pertemuannya dengan agama-agama. pada masa revolusi tahun 1965, Suku ini merasakan ketegangan dengan Islam. Warga Pasuruan pernah menyerbu desa-desa Suku Tengger untuk memerangi kemusyrikan. Oleh karena itu, warga Suku Tengger akhirnya memilih Hindu sebagai agama resmi yang diakui. Meskipun begitu Hindu Tengger memiliki beberapa perbedaan dengan Hindu-Bali.
Suku tengger terkenal dengan kekayaan tradisi dan ritual upacara keagamaannya. Agama mayoritas warganya memang Hindu. Namun seiring perkembangan zaman, agama di sana juga semakin beragam dengan masuknya Islam dan Kristen. Dengan sejarah pertemuan agama-agama di sana, serta tingginya gelombang pengaruh dari luar Tengger melalui pariwisata serta teknologi informasi dan komunikasi, Suku Tengger tidak kehilangan identitasnya. Suku ini tetap menjunjung tinggi toleransi dan menganggap perbedaan itu suatu keniscayaan.

Suku Tengger merupakan komunitas masyarakat yang memiliki model hubungan antaragama yang dialogis dan setara. Keberagaman agama yang semakin berkembang tidak semakin menunjukkan gejala-gejala konflik yang dapat muncul. Model hubungan antaragama yang toleran masih banyak terdapat di Bumi Indonesia. Seharusnya, melalui multikuturalisme kita dapat melihat perbedaan sebagai suatu keindahan bukannya ancaman.

Masyarakat Suku Tengger menganut empat agama dari lima agama yang diakui oleh Pemerintah Indonesia. Yaitu Agama Hindu , Islam ,Kristen dan Budha.
.


Ciri Khas Suku Tengger

Sama seperti suku-suku lain di Indonesia, suku Tengger pun memiliki suatu ciri khas yang unik. Berikut ini beberapa ciri khas suku Tengger yang akan menambah wawasan Anda.

• Fisik

Secara fisik, warga Tengger sama seperti orang Jawa kebanyakan. Pakaian yang mereka kenakan sebagai bentuk adaptasi dengan keadaan sekitar, bisa disebut sebagai ciri khas yang paling nampak dari suku ini.

Umumnya mereka mengenakan pakaian biasa berlengan panjang dan celana. Namun yang menjadi ciri khas mereka adalah kain sarung yang hampir selalu melekat di tubuh mereka. Sarung itu pun kerap dijadikan pengganti jaket untuk mengusir rasa dingin.

Selain sarung, mereka juga mengenakan topi atau kupluk sebagai pelindung kepala dan telinga dari udara dingin.

• Bahasa

Ciri khas lain dari suku Tengger terletak pada bahasa yang mereka pergunakan. Mereka memakai bahasa Jawa kuno dengan dialek khas Tengger yang juga diyakini sebagai bahasa dan dialek asli Majapahit.

• Mata Pencaharian

Mata pencaharian suku Tengger umumnya adalah bertani dan berternak. Seperti yang sudah diketahui, lahan di sekitar gunung pastilah lahan yang subur dan sangat bagus untuk ditanamai berbagai sayuran, misalnya sawi dan kol (kubis).

Pekerjaan lain yang juga digeluti warga Tengger adalah sebagai pemandu wisata. Bila Anda berkunjung ke Gunung Bromo, Anda akan sangat mudah menemukan orang-orang suku Tengger yang selalu ditemani kuda dan siap mengantar Anda dan para wisatawan lain ke mana-mana, bahkan menuju lereng Bromo sekalipun.

• Upacara Adat

Suku Tengger juga punya ciri khas lain, yaitu upacara adat. Sebenarnya cukup banyak upacara adat yang diadakan oleh warga Tengger, namun yang paling populer adalah upacara adat Kasodo yang diadakan setahun sekali.
Upacara ini berlangsung di pura dekat Bromo lalu berlanjut ke puncak Bromo. Diadakan sekitar tanggal 14-15 (saat purnama) di bulan kesepuluh menurut penanggalan Jawa. Kasodo sendiri berarti kesepuluh.
Selain Kasodo, ada pula upacara adat Karo (diadakan pada bulan Puso), Kapat (diadakan pada bulan keempat), Kawolu (pada bulan kedelapan), Kasanga (pada bulan kesembilan), dan sederet upacara adat lainnya.

Budaya Masyarakat Suku Tengger

Suku Tengger yang berada di sekitar taman nasional merupakan suku asli yang beragama Hindu. Menurut legenda, asal-usul suku tersebut dari Kerajaan Majapahit yang mengasingkan diri. Uniknya, melihat penduduk di sekitar (Su-ku Tengger) tampak tidak ada rasa ketakutan walaupun menge-tahui Gunung Bromo itu berbaha-ya, termasuk juga wisatawan yang banyak mengunjungi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru pada saat Upacara Kasodo.
                               
Tradisi Kasada

Sebagai ungkapan rasa sykur kepada sang pencipta, ribuan warga suku Tengger yang berada di kawasan Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, menggelar ritual Yatna Kasada. Meski kabut tebal dan suhu yang tidak lebih dari 5 derajat celcius namun hal itu tidak mengurangi suasana khitmat selama ritual pembuangan aneka sesaji hasil bumi ke pusat kawah Bromo tersebut. 

Ritual Yatya Kasada digelar saat purnama. Pada bulan kasada sesuai penanggalan warga Hindu Tengger. Yatya kasada diawali dengan malam resepsi di pendopo agung, di Desa Ngadisari, yang merupakan wilayah terdekat dari kawah Bromo dan dihadiri para tokoh dan sesepuh adat. Ritual selanjutnya adalah buka lawang, yang dipusatkan di pura Ponten Bromo. 

Ritual ini dimaksudkan untuk meminta izin kepada para leluhur sebelum kasada digelar. Meskipun cuaca berkabut dengan suhu sekitar 5 derajat celcius tidak mengurangi suasana khidmat. Ritual kasada berangkat dari mitologi masyarakat Tengger dimana konon dua leluhur Tengger yakni Roro Anteng, dan Jaka Seger berjanji akan mengorbankan anaknya ke kawah Bromo, bila yang maha kuasa, menganugrahkan keturunan. 
Upacara Kasodo diselenggarakan setiap tahun (Desember/Januari) pada bulan purnama. Melalui upacara tersebut, masyarakat Suku Tengger memohon panen yang berlimpah atau meminta tolak bala dan kesembuhan atas berbagai penyakit, yaitu dengan cara mempersembahkan sesaji dengan melemparkannya ke kawah Gunung Bromo, sdmentara masyarakat Tengger lainnya harus menuruni tebing kawah dan meraih untuk menangkap sesaji yang dilemparkan ke dalam kawah, sebagai perlambang berkah dari Yang Maha Kuasa.

Perebutan sesaji tersebut merupakan atraksi yang sangat menarik dan menantang sekaligus mengerikan. Sebab tidak jarang diantara mereka jatuh ke dalam kawah.
Puncak tradisi adalah dengan melarung puluhan ongkek, sebutan untuk aneka sesaji hasil bumi. Acara ini menarik ratusan wisatawan. Sebagian dari mereka bahkan ihklas melintasi lautan pasir untuk mengarak sesaji. Namun sayangnya puncak acara tidak bisa di ikuti seluruh warga. Karena bibir kawah yang menipis .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar