Kalimantan

Suku Dayak dan Dunia Supranatural


Sebermulanya Suku Dayak

Suku Dayak adalah penduduk asli Kalimantan sekaligus pelaku dari kesenian suku Dayak itu sendiri. Di masa lalu, suku ini mendiami pesisir dan tepi-tepi sungai. Populasinya sangat besar, terdiri dari 6 suku dan 405 subsuku kecil yang tersebar di berbagai tempat. Kesenian suku Dayak tumbuh subur di pedalaman Kalimantan.

Indonesia pantas berbangga hati jika berkenaan dengan hal yang satu ini. Kebudayaan seolah tidak pernah habis dari tanah ibu pertiwi. Sebagai warisan, kebudayaan Indonesia akan tetap terus dipertahankan, dan salah satunya adalah kesenian suku Dayak.

Kesenian suku Dayak menyuguhkan hal berbeda yang tidak dimiliki oleh kesenian dari suku lain. Perbedaan tersebut justru membuat kesenian suku Dayak semakin menonjol dan mudah diingat oleh masyarakat secara luas.

Ketika membicarakan kesenian suku Dayak, bisa jadi yang terlintas pertama kali di pikiran kita adalah aksesoris semacam ikat kepala yang dilengkapi dengan bulu di bagian belakang. Ya, itulah yang dimaksud dengan keunikan kesenian suku Dayak. Dengan keunikan tersebut, kita akan mudah mengidentifikasi sebuah kesenian yang berasal dari satu daerah.

Sama seperti tarian jaipong yang identik dengan kesenian suku Sunda, ragam kesenian suku Dayak pun demikian. Kesenian itu hakikatnya terlahir dari kebiasaan masyarakat.
Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60 000 dan 70 000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini "Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan.Tetek Tahtum menceritakan perpindahan suku Dayak dari daerah hulu menuju daerah hilir sungai.




Sosial Masyarakat Suku Dayak

Agak berbeda dengan kebudayaan Indonesia lainnya yang pada umumnya bermula di daerah pantai, masyarakat suku Dayak menjalani sebagian besar hidupnya di sekitar daerah aliran sungai pedalaman Kalimantan.

Dalam pikiran orang awam, suku Dayak hanya ada satu jenis. Padahal sebenarnya mereka terbagi ke dalam banyak sub-sub suku. Menurut J.U. Lontaan, terdapat sekitar 405 sub suku Dayak yang memiliki kesamaan sosiologi kemasyarakatan namun berbeda dalam adat-istiadat, budaya dan bahasa yang digunakan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh terpencarnya masyarakat Dayak menjadi kelompok-kelompok kecil dengan pengaruh masuknya kebudayaan luar.

Suku Dayak terbagi dalam Dayak Muslim dan Non Muslim. Yang termasuk Dayak Muslim adalah Suku Dayak Bakumpai, Suku Dayak Bukit, Suku Dayak Sampit, Suku Dayak Paser, Suku Dayak Tidung, Suku Dayak Melanau, Suku Dayak Kedayan, Suku Dayak Embaloh, Suku Dayak Sintang, Suku Dayak Sango dan Suku  Dayak Ngabang.

Sedangkan suku Dayak Non Muslim jumlahnya lebih banyak lagi. Yaitu Suku Dayak 
Abal, Suku Dayak Abai, Suku Dayak Banyadu, Suku Dayak Bakati, Suku Dayak Bentian, Suku Dayak Benuaq, Suku Dayak Bidayuh, Suku Dayak Darat, Suku Dayak Dusun, Suku Dayak Dusun Deyah, Suku Dayak Dusun Malang, Suku Dayak Kenyah, Suku Dayak Lawangan, Suku Dayak Maanyan, Suku Dayak Mali, Suku Dayak Mayau, Suku Dayak Meratus, Suku Dayak Mualang, Suku Dayak Ngaju, Suku Dayak Ot Danum, Suku Dayak Samihim dan lain-lain yang diperkirakan jumlahnya mencapai tiga ratus sub suku.

Setiap sub suku Dayak memiliki budaya yang unik dan memberi ciri khusus pada komunitasnya. Misalnya tradisi memanjangkan telinga yang dilakukan oleh wanita suku Dayak Kenyah, Kayan dan Bahau. Lalu ada juga tradisi kayau atau perburuan kepala tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi musuh suku Dayak Kendayan.

Budaya Masyarakat Suku Dayak

Tradisi Penguburan

Peti kubur di Kutai. Foto tersebut merupakan foto kuburan Dayak Benuaqdi Kutai. Peti yang dimaksud adalahSelokng (ditempatkan di Garai). Ini merupakan penguburan primer - tempat mayat melalui Upacara/Ritual Kenyauw. Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan Tempelaq yang merupakan tempat tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
penguburan di dalam peti batu (dolmen)
penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
1. wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun[31], selokng dan kotak
2. wadah tulang-beluang : tempelaaq[32] (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan)[33][34] Suku Dayak Benuaq :
1. lubekng (tempat lungun)
2. garai (tempat lungun, selokng)
3. gur (lungun)
4. tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
1. penguburan tahap pertama (primer)
2. penguburan tahap kedua (sekunder).




Kesenian 

1. Seni Tari dari Kesenian Suku Dayak 
Banyaknya suku dan subsuku Dayak menimbulkan beragamnya tari tradisional dalam kesenian suku Dayak. Secara garis besar, berdasarkan vocabuler tari, seni tari dalam kesenian suku Dayak bisa diklasifikasikan menjadi 4 kelompok.

Tarian dengan gerak enerjik, keras dan staccato, adalah ciri kelompok tari Kendayan, yang dimiliki oleh suku Dayak Bukit, Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati, dan lain-lain, di sekitar Pontianak, Landak, dan Bengkayang.
Tarian dengan gerak tangan membuka, gerakan halus, adalah ciri vocabuler tari Ribunic atau Bidayuh, yang berkembang di kalangan suku Dayak Dayak Ribun, Pandu, Pompakang, Lintang, Pangkodatan, Jangkang, Kembayan, Simpakang, dan lain-lain, di sekitar Sanggau Kapuas.
Tarian dengan gerak pinggul yang dominan adalah ciri tari kelompnk Ibanic yang dimiliki suku Dayak Iban, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, dan sebagainya, di sekitar Sanggau, Malenggang, Sekadau, Sintang, Kapuas, dan Serawak.
Sedikit lebih halus adalah ciri kelompok Banuaka, yang dimiliki oleh suku Dayak Taman, Tamambaloh, Kalis, dan sebagainya, di sekitar Kapuas Hulu.
Di luar kelompok tersebut, masih ada jenis tari yang lain yang belum teridentifikasi.
Sebagian besar tari Dayak dalam kesenian suku Dayak adalah tari ritual upacara sesuai dengan agama Kaharingan. Misalnya, tari Ajat Temuai Datai. Tarian ini populer di kalangan Dayak Mualang dan berfungsi sebagai upacara penyambutan terhadap pahlawan yang pulang mengayau.

Di masa lalu, dalam kesenian suku Dayak mengayau berarti pergi membunuh musuh, namun sekarang mengalami pergeseran makna. Mengayau berarti 'melindungi pertanian, mendapatkan tambahan daya jiwa, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan'.

Beberapa contoh tari yang lain, misalnya sebagai berikut.

Tari Gantar, untuk upacara menanam padi.
Tari Kancet Papatai atau tari Perang, untuk upacara penyembahan kepada arwah leluhur.
Tari Kancet Lasan adalah tari pemujaan terhadap dewa yang diwujudkan dalam bentuk burung enggang.
Tari Serumpai adalah tari untuk menolak wabah penyakit.
Tarian Belian Bawo adalah tarian untuk mengobati orang sakit.
Tari Kuyang adalah tarian untuk mengusir hantu.
Tarian Datun, adalah tarian syukur atas kelahiran.
2. Seni Musik dari Kesenian Suku Dayak

Tidak jauh beda dengan seni tari, seni musik dalam kesenian suku Dayak didominasi musik-musik ritual. Musik itu merupakan alat berkomunikasi dan menyampaikan pesan kepada roh-roh.

Beberapa jenis alat musik suku Dayak sebagai salah satu identitas dalam kesenian suku Dayak adalah prahi, gimar, tuukng tuat, pampong, genikng, glunikng, jatung tutup, kadire, klentangan, dan lain-lain.

Masuknya Islam memberi pengaruh dalam kesenian suku Dayak, khususnya seni musik Dayak, dengan dikenalnya musik tingkilan dan hadrah. Musik Tingkilan menyerupai seni musik gambus dan lagu yang dinyanyikan disebut betingkilan yang berarti 'bersahut-sahutan'. Dibawakan oleh dua orang pria-wanita dengan isi lagu berupa nasihat, pujian, atau sindiran.

3. Seni Drama dari Kesenian Suku Dayak

Pada kesenian suku Dayak, masyarakatnya juga mengenal seni drama. Drama tradisional ditemukan pada masyarakat Kutai dalam bentuk kesenian Mamanda. Drama ini memainkan lakon kerajaan dan dimainkan dalam upacara adat seperti perkawinan atau khitanan. Bentuk pementasannya menyerupai ludruk atau ketoprak.

4. Seni Rupa dari Kesenian Suku Dayak

Seni rupa Dayak yang juga termasuk dalam kesenian suku Dayak terlihat pada seni pahat dan patung yang didominasi motif-motif hias setempat yang banyak mengambil ciri alam dan roh dewa-dewa dan digunakan dalam upacara adat. Ada macam-macam patung dengan ragam fungsi, di antaranya sebagai berikut.

Patung azimat yang dianggap berkhasiat mengobati penyakit.
Patung kelengkapan upacara.
Patung blontang, semacam patung totem di masyarakat Indian.
Selain itu, seni rupa Dayak terlihat pada seni kriya tradisional seperti kelembit (perisai), ulap doyo (kain adat), anjat (tas anyaman), bening aban (kain gendongan), seraong (topi), dan lain-lain.

Kesenian suku Dayak adalah bagian dari kekayaan budaya Nusantara yang layak dibanggakan. Kesenian suku Dayak merupakan satu dari sekian banyak kesenian yang dimiliki Indonesia. Dari itu semua, kesenian-kesenian yang terdapat di Indonesia, Indonesia menjadi sebuah negara yang kaya raya dan membanggakan.

Kepercayaan Masyarakat Suku Dayak

Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” )
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)


1 komentar:

  1. Data-data yang anda berikan tentang Dayak Islam kebanyakan salah besar. Saya yakin anda mengutip dari internet, dan Bukan berarti segalanya yang bersumber dari internet adalah “PERKATAAN TUHAN”. Informasi yang diberikan haruslah relevant dan nyata. Saya lahir dan besar Kalimantan Barat dan sampai sekarang masih tinggal di Kalimantan barat tepatnya di Pontianak. meskipun saya bukan dari etnis Dayak, saya tahu macam-macam etnis Dayak dan Agamanya. Di SINTANG, terdapat Dayak De’sa, Dayak Seberuang, Dayak Lebang, Dayak Inggar Silat, Dayak Linoh, Dayak Kebahan, Dayak Sekujam, dll. Suku-suku Dayak asal Sintang tersebut kesemuanya beragama Kristen Katolik/Kristen Protestan! Kecuali sub suku Dayak Kebahan yang sebagian beragama Islam. TIDAK ADA YANG NAMANYA DAYAK SINTANG!...SINTANG adalah nama kabupaten, bukan nama salah satu etnis Dayak. Di Ngabang, terdapat Dayak Kanayatn, Dayak Balangint, Dayak Banyadu’, Dayak Angan, dll (ada 6 sub suku termasuk 4 sub suku Dayak yang disebutkan tadi). mereka beragama Kristen Katolik dan Kristen Protestan. NGABANG adalah nama kecamatan, bukan nama sub suku Dayak. Orang Islam di Ngabang bersuku Melayu dan pendatang. Di Sanggau, terdapat Dayak Hibun, Dayak Mali, Dayak Tobak, Dayak Bidayuh, Dayak Jangkang, Dayak Pompakng, Dayak Kodatn, Dayak Pandu, dan semuanya menganut Katolik dan Kristen Protestan. SANGGAU adalah nama kabupaten, bukan nama etnis Dayak. Di Sanggau, yang beragama Islam adalah orang Melayu dan pendatang. Menurut saya, di Kalimantan, sub suku Dayak yang beragama Islam hanya sub suku Dayak Bakumpai (Kal-teng) dan Dayak Paser (Kal-Tim), di Kal-Bar, sebagian Dayak Kebahan (Kab. Sintang) juga beragama Islam dan sisanya Kristen. Mengenai Dayak Kedayan, Embaloh, Tidung, dan Melanau yang anda tulis, Suku Kedayan dan Melanau, dan Tidung bukanlah termasuk dalam kategor suku Dayak. Mereka Suku Asli Kalimantan Non-Dayak. Mengenai suku Dayak Embaloh, sekali lagi, Embaloh adalah kecamatan di Kapuas Hulu. Ada Embaloh Hilir dan Embaloh Hulu. Embaloh Hulu dihuni oleh sub suku Dayak Iban dan Dayak Tamambaloh. Penganut muslim di kedua Embaloh adalah orang Melayu. Embaloh bukan nama sub suku Dayak.

    BalasHapus